Psychographic Targeting: Iklan Berdasarkan Nilai dan Gaya Hidup, Bukan Usia atau Lokasi
#Iklans – #Psychographic Targeting: #Iklan Berdasarkan Nilai dan Gaya Hidup, Bukan Usia atau Lokasi – Dalam dunia #pemasaran modern yang serba digital, #pengiklan kini dihadapkan pada audiens yang jauh lebih cerdas, kompleks, dan sulit ditebak. Data demografis seperti usia, jenis kelamin, atau lokasi memang masih berguna, tetapi kini tidak lagi cukup untuk memahami #perilaku konsumen secara mendalam. Dua orang dengan usia sama dan tinggal di tempat yang sama bisa memiliki minat, pandangan hidup, dan kebiasaan konsumsi yang benar-benar berbeda.
Baca Juga: Bagaimana Mengemas CSR (Corporate Social Responsibility) Jadi Kampanye Iklan yang Humanis
Inilah alasan mengapa psychographic targeting atau penargetan psikografis muncul sebagai strategi pemasaran baru yang lebih relevan dan efektif — karena berfokus pada nilai, gaya hidup, kepribadian, serta motivasi individu, bukan sekadar identitas demografis.

1. Dari Data Demografis ke Psikografis: Pergeseran Paradigma Pemasaran
Selama bertahun-tahun, dunia periklanan didominasi oleh pendekatan demographic targeting. Misalnya, produk kosmetik difokuskan untuk wanita usia 20–35 tahun di perkotaan, atau produk investasi untuk pria usia 30-an yang bekerja di sektor profesional. Namun, dalam praktiknya, pola konsumsi tidak selalu mengikuti garis demografi tersebut.
Contoh sederhana, dua orang wanita berusia 28 tahun bisa memiliki pandangan yang bertolak belakang: satu mungkin sangat peduli terhadap produk organik dan lingkungan, sementara yang lain lebih tertarik pada tren kecantikan terbaru tanpa memedulikan aspek keberlanjutan.
Kedua individu ini jelas membutuhkan pendekatan komunikasi yang berbeda, meskipun secara demografis mereka terlihat sama.
Di sinilah psychographic targeting berperan penting. Pendekatan ini menelusuri mengapa seseorang membuat keputusan tertentu — apa yang mereka yakini, apa yang mereka hargai, dan gaya hidup seperti apa yang mereka jalani. Alih-alih menanyakan “siapa konsumen kita?”, pendekatan psikografis menanyakan “apa yang memotivasi mereka untuk bertindak?”.
2. Elemen Utama dalam Psychographic Targeting
Untuk memahami dan mengelompokkan konsumen secara psikografis, ada beberapa aspek kunci yang biasanya digunakan oleh para pemasar:
a. Nilai (Values)
Nilai merupakan hal-hal mendasar yang dianggap penting oleh individu. Misalnya, sebagian orang menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama, sementara yang lain lebih fokus pada efisiensi, kemudahan, atau status sosial.
Merek seperti Patagonia dan Toms Shoes adalah contoh perusahaan yang sukses menggunakan pendekatan berbasis nilai, dengan menonjolkan tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap bumi.
b. Gaya Hidup (Lifestyle)
Gaya hidup mencakup aktivitas, minat, dan opini yang mencerminkan cara seseorang menjalani hidup. Misalnya, seseorang dengan gaya hidup aktif akan lebih responsif terhadap iklan sepatu olahraga atau produk kebugaran, tanpa harus memperhatikan usia mereka.
Pendekatan ini membuat pesan pemasaran terasa lebih personal karena menyentuh cara hidup nyata konsumen.
c. Kepribadian (Personality)
Setiap individu memiliki karakteristik unik: ada yang berani mengambil risiko, ada pula yang konservatif dan berhati-hati.
Merek seperti Harley-Davidson membangun identitasnya dengan menargetkan kepribadian pemberani dan independen, bukan sekadar pria berusia tertentu.
d. Motivasi dan Aspirasi (Motivation & Aspiration)
Psikografi juga memperhitungkan dorongan batin dan cita-cita seseorang. Beberapa orang membeli produk karena ingin merasa sukses, yang lain karena ingin merasa aman atau diterima secara sosial.
Contohnya, kampanye iklan Apple tidak menjual fitur produk semata, tetapi menggugah aspirasi konsumen untuk menjadi kreatif dan “berbeda”.
Baca Juga: Collaborative Ads di Era Ekonomi Kreator: Brand dan Influencer Jadi Partner
3. Bagaimana Data Psikografis Diperoleh dan Digunakan
Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) kini memungkinkan perusahaan untuk menganalisis perilaku psikografis dengan lebih akurat. Data bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti:
- Aktivitas media sosial (postingan, komentar, konten yang disukai)
- Riwayat pencarian dan preferensi belanja online
- Survei kepuasan dan wawancara konsumen
- Analisis konten yang sering dikonsumsi (video, artikel, musik, dan sebagainya)
Dari data tersebut, sistem AI dapat memetakan karakteristik psikografis audiens dan membuat segmen pasar baru berdasarkan nilai atau gaya hidup.
Sebagai contoh:
- Netflix merekomendasikan tontonan bukan hanya berdasarkan genre, tetapi juga suasana hati (mood) penonton.
- Nike menargetkan kampanye inspiratif “Just Do It” kepada individu yang berorientasi pada prestasi dan pencapaian pribadi.
- Coca-Cola menyesuaikan pesan kampanye global “Choose Happiness” untuk menyentuh nilai optimisme dan kebersamaan, bukan sekadar kelompok usia tertentu.
4. Manfaat Psychographic Targeting bagi Brand
Menggunakan pendekatan psikografis membawa sejumlah keuntungan strategis:
- Pesan Pemasaran yang Lebih Relevan
Iklan yang menyesuaikan nilai dan gaya hidup audiens terasa lebih personal dan menyentuh secara emosional. - Tingkat Keterlibatan (Engagement) Lebih Tinggi
Konsumen yang merasa “dimengerti” cenderung lebih aktif berinteraksi dan lebih setia terhadap merek. - Efisiensi Biaya Iklan
Dengan menargetkan audiens yang benar-benar relevan, perusahaan dapat memaksimalkan ROI (Return on Investment) dari setiap kampanye. - Citra Merek yang Kuat dan Autentik
Brand yang selaras dengan nilai konsumennya akan dipersepsikan lebih jujur dan berkarakter.
5. Tantangan dan Aspek Etika dalam Psychographic Targeting
Meski menjanjikan, psychographic targeting juga menghadirkan tantangan. Pertama, mengumpulkan data psikografis membutuhkan analisis yang lebih dalam dan kompleks. Kedua, ada isu penting terkait privasi dan etika penggunaan data pribadi.
Pengiklan harus berhati-hati agar tidak terkesan memanipulasi atau melanggar privasi individu. Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada transparansi dan izin eksplisit dari konsumen.
Selain itu, pemasar juga harus menjaga keseimbangan antara personalisasi dan privasi. Pendekatan yang terlalu agresif justru bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap merek.
Kesimpulan: Menyentuh Emosi, Bukan Sekadar Data
Psychographic targeting adalah evolusi alami dari pemasaran berbasis data menuju pemasaran berbasis pemahaman manusia. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap angka statistik dan algoritma, terdapat individu dengan emosi, keyakinan, dan impian yang unik.
Dengan memahami “mengapa” seseorang bertindak, bukan hanya “siapa” mereka, perusahaan dapat menciptakan iklan yang lebih relevan, empatik, dan bermakna. Strategi ini bukan hanya meningkatkan efektivitas kampanye, tetapi juga membangun hubungan emosional yang lebih kuat antara brand dan konsumennya — hubungan yang tidak bisa dibeli dengan data semata.

