Iklans

17 Okt
Periklanan
20 views
0 Comments

Evolusi Jingle Iklan: Dari Radio ke TikTok Sound

#Iklans – #Evolusi Jingle Iklan: Dari Radio ke TikTok Sound – Dalam dunia #periklanan, musik memiliki kekuatan yang unik dan abadi. Ia mampu membangkitkan emosi, menanamkan pesan, dan menciptakan kenangan yang melekat di benak pendengar. Salah satu bentuk paling ikonik dari kekuatan musik dalam #pemasaran adalah #jingle iklan—lagu singkat yang dirancang untuk membuat merek mudah diingat. Namun, seiring perkembangan #teknologi dan perubahan perilaku konsumen, #jingle telah berevolusi dari sekadar lagu di radio menjadi soundbite viral di #media sosial seperti #TikTok.

Baca Juga: Iklan Minimalis: Ketika Sederhana Justru Lebih Kuat

Evolusi Jingle Iklan: Dari Radio ke TikTok Sound

Era Keemasan Jingle di Radio (1930–1960-an)

Pada awal abad ke-20, sebelum televisi dikenal luas, radio menjadi media utama hiburan dan informasi. Di sinilah jingle lahir dan menemukan kejayaannya. Brand-brand besar seperti Wheaties, Pepsi, dan Coca-Cola adalah pionir yang memanfaatkan musik sebagai alat komunikasi untuk menanamkan pesan merek mereka ke benak konsumen.

Salah satu contoh paling legendaris adalah jingle Wheaties pada tahun 1926 berjudul “Have You Tried Wheaties?”. Lagu ini sederhana, mudah diingat, dan sukses meningkatkan penjualan secara drastis. Dari sinilah para pengiklan menyadari bahwa musik bisa menjadi strategi branding yang sangat efektif.

Di era ini, jingle bukan hanya pengiring iklan, tetapi juga bagian dari budaya populer. Banyak orang yang tanpa sadar menyanyikan jingle favorit mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, jingle menciptakan efek “iklan tanpa terasa” — di mana pesan merek disampaikan lewat hiburan, bukan paksaan.


Transisi ke Era Televisi (1970–1990-an)

Ketika televisi mulai mendominasi media pada 1970-an, bentuk jingle mengalami perubahan signifikan. Kini, musik tidak hanya berfungsi untuk menarik perhatian telinga, tetapi juga berpadu dengan visual untuk menyentuh emosi penonton.

Brand besar memanfaatkan jingle untuk membangun identitas visual dan emosional yang kuat. Contohnya, McDonald’s dengan “I’m Lovin’ It” atau Coca-Cola dengan “Always Coca-Cola”. Kedua jingle ini bukan sekadar lagu promosi, tetapi menjadi simbol gaya hidup positif dan kebahagiaan.

Produksi jingle di era ini menjadi semakin profesional. Banyak perusahaan menggandeng komposer terkenal, penyanyi populer, hingga agensi kreatif besar untuk menciptakan lagu yang mampu bertahan di benak konsumen selama bertahun-tahun.

Selain itu, jingle juga mulai digunakan secara lintas media — tidak hanya di televisi, tetapi juga di bioskop, kaset promosi, dan acara-acara publik. Dengan demikian, jingle menjadi bagian integral dari branding experience yang lebih menyeluruh.

Baca Juga: Behind the Brand: Studi Visual Identitas di Dunia Periklanan


Era Digital dan Disrupsi Media (2000–2010-an)

Masuknya era internet membawa perubahan besar pada lanskap periklanan. Konsumen kini tidak lagi pasif seperti pada masa radio dan televisi. Mereka memiliki kontrol penuh terhadap konten yang ingin dikonsumsi. Akibatnya, durasi atensi menurun drastis, dan jingle klasik berdurasi 30 detik mulai kehilangan relevansinya.

Sebagai respons terhadap perubahan ini, banyak perusahaan beralih ke konsep sonic branding—identitas merek dalam bentuk suara yang sangat singkat, bahkan hanya beberapa detik. Contohnya, bunyi “ta-dum” khas Netflix, “Intel Inside” dari Intel, atau nada pembuka aplikasi TikTok yang langsung dikenali jutaan orang di seluruh dunia.

Era digital juga melahirkan fenomena baru seperti audio logo, sound design, dan brand theme music. Alih-alih sekadar lagu iklan, brand kini membangun pengalaman suara yang konsisten di berbagai platform: dari aplikasi mobile, website, hingga video promosi.

Pendekatan ini terbukti efektif, karena manusia secara alami lebih mudah mengenali pola suara dibandingkan logo visual. Dengan demikian, jingle modern tidak lagi berupa lagu panjang, tetapi identitas sonik yang ringkas, khas, dan mudah dikenali.


TikTok dan Lahirnya Era “Sound Marketing” (2020–sekarang)

Revolusi berikutnya datang dari platform video pendek seperti TikTok. Di sini, suara menjadi pusat dari seluruh pengalaman pengguna. Algoritma TikTok bahkan mengutamakan tren berbasis suara—mulai dari potongan lagu, efek suara, hingga remix kreatif yang digunakan ulang jutaan kali oleh pengguna lain.

Dalam konteks ini, jingle mengalami transformasi menjadi bentuk yang jauh lebih dinamis: TikTok Sound. Brand tidak lagi membuat jingle tradisional, melainkan soundbite berdurasi 5–15 detik yang dirancang untuk viral. Keberhasilan bukan lagi diukur dari seberapa sering jingle diputar di TV, melainkan seberapa banyak pengguna membuat konten menggunakan suara tersebut.

Contohnya, kampanye “Taste the Feeling” dari Coca-Cola yang diadaptasi menjadi potongan lagu energik dan populer di TikTok. Lagu-lagu viral seperti “It’s Corn!” atau “Say So” dari Doja Cat pun memperlihatkan bagaimana batas antara musik populer dan jingle semakin kabur. Banyak musisi yang lagunya viral secara organik kemudian diadopsi oleh brand untuk memperkuat kampanye mereka.

Fenomena ini menandai era baru: konsumen bukan hanya pendengar, tetapi juga kreator konten. Mereka berpartisipasi aktif membentuk makna dan persepsi merek melalui user-generated content (UGC). Akibatnya, jingle kini tidak lagi diciptakan secara sepihak oleh brand, melainkan hasil kolaborasi antara kreator, musisi, dan komunitas digital.


Masa Depan Jingle: Dari AI ke Pengalaman Imersif

Melihat arah perkembangan teknologi, masa depan jingle tampaknya akan bergerak ke arah yang semakin personal dan interaktif. Dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), brand kini bisa menciptakan jingle yang menyesuaikan diri dengan preferensi pengguna—mulai dari gaya musik, bahasa, hingga suasana hati pendengar.

Selain itu, teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) membuka peluang bagi terciptanya immersive sound branding. Bayangkan ketika seseorang memasuki toko virtual, mereka langsung mendengar jingle merek tertentu yang berubah sesuai konteks pengalaman mereka.

Artinya, di masa depan, jingle tidak lagi hanya “didengar”, melainkan dialami secara menyeluruh.

Namun, di balik semua inovasi itu, esensi jingle tetap sama: menciptakan koneksi emosional antara merek dan pendengar melalui musik. Dari radio ke TikTok, dari melodi sederhana hingga algoritma AI, musik tetap menjadi bahasa universal yang menyatukan brand dan audiensnya.

Baca Juga: Hyperlocal Marketing: Strategi Iklan Berdasarkan Lokasi Tertentu


Kesimpulan

Perjalanan panjang jingle iklan menunjukkan bahwa musik selalu memiliki tempat istimewa dalam dunia pemasaran. Dari lagu radio klasik hingga suara viral di TikTok, jingle terus beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi dan selera masyarakat.

Jika dulu jingle berfungsi untuk mengingatkan merek, kini ia menjadi identitas suara yang memperkuat pengalaman konsumen di berbagai platform. Evolusi ini membuktikan bahwa dalam dunia iklan yang terus berubah, satu hal tetap sama: suara memiliki kekuatan untuk menggerakkan hati dan membentuk ingatan.

Tags: , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan Balasan